Ekonesia – Mitos tuyul dan babi ngepet, dua sosok pencuri harta karun gaib, telah lama menghiasi cerita rakyat Indonesia. Namun, pernahkah Anda bertanya, mengapa mereka tak pernah mengincar brankas bank yang penuh uang? Ternyata, jawabannya lebih dalam dari sekadar penjagaan ketat satpam.
Kisah tuyul dan babi ngepet sebenarnya adalah cerminan kecemburuan sosial di tengah jurang ketimpangan ekonomi. Dahulu, kekayaan mendadak seseorang tanpa usaha yang kasat mata memicu curiga. Muncul bisikan bahwa harta itu hasil pesugihan, bantuan makhluk halus.

Liberalisasi ekonomi di masa lalu memperparah keadaan. Banyak petani kehilangan lahan, sementara pedagang dan pengusaha meraup untung besar. Kesenjangan ini melahirkan iri hati. Masyarakat yang masih kental dengan mistisisme menuduh orang kaya baru bersekutu dengan makhluk gaib untuk mendapatkan kekayaan instan.
Tuduhan ini membuat para pengusaha sukses kehilangan status sosial. Mereka dianggap hina karena meraih kekayaan dengan cara haram. Popularitas tuyul dan babi ngepet sebagai simbol kekayaan gaib pun meroket dan bertahan hingga kini.
Antropolog Clifford Geertz bahkan mencatat adanya praktik memelihara tuyul dengan perjanjian mistis di tempat keramat. Pemilik tuyul digambarkan hidup sederhana, berpakaian lusuh, dan berbaur dengan rakyat jelata untuk menyembunyikan kekayaannya.
Namun, di era modern, "uang bank" tak masuk dalam dunia tuyul dan babi ngepet. Bank adalah simbol sistem keuangan formal yang asing bagi mitos pedesaan. Mereka mencuri dari rumah ke rumah, mencerminkan ketimpangan sosial yang nyata antara si miskin dan si kaya di kampung, bukan antara rakyat dan institusi.










Tinggalkan komentar