Trump Luluh! Tarif Impor RI Turun Drastis Jadi Segini

Rachmad

16 Juli 2025

2
Min Read
Trump Luluh! Tarif Impor RI Turun Drastis Jadi Segini

Ekonesia Ekonomi – Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Akbar Himawan Buchari, mengapresiasi upaya maksimal pemerintah dalam menekan tarif impor produk Indonesia oleh Amerika Serikat. Negosiasi intensif berhasil menurunkan tarif yang semula diancam 32% menjadi 19%.

Akbar mengungkapkan, sejak April lalu, pemerintah telah berjuang keras melobi Washington agar tidak memberlakukan tarif tinggi. Hampir semua menteri terkait, di bawah koordinasi Presiden Prabowo Subianto, terlibat aktif. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memimpin negosiasi langsung dengan pihak AS.

Trump Luluh! Tarif Impor RI Turun Drastis Jadi Segini
Gambar Istimewa : img.antaranews.com

Namun, gebrakan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjadi kunci. Ancaman pembatalan impor migas dari AS jika tarif tidak turun, ternyata didengar oleh pihak Amerika. "Saya baru berbincang dengan Bang Bahlil. Beliau bercerita, ternyata ancaman itu didengar pihak Amerika. Sehingga mereka melunak, dan menurunkan tarifnya jadi 19 persen," ujar Akbar, seperti dikutip dari ekonosia.com, Rabu.

Meski 19% masih tergolong tinggi, Akbar menekankan bahwa angka ini lebih rendah dibandingkan tarif yang dikenakan pada negara ASEAN lain seperti Laos (40%), Thailand (36%), Malaysia (25%), dan Vietnam (20%).

Akbar menambahkan, defisit perdagangan AS dengan Indonesia hanya 19 miliar dolar AS. Sementara itu, Indonesia akan mengimpor energi dan produk pertanian dari AS senilai 34 miliar dolar AS. Langkah ini diharapkan dapat membalikkan neraca perdagangan yang sebelumnya defisit bagi AS menjadi surplus.

Ia berharap tarif impor dapat terus diturunkan, mengingat dampaknya terhadap industri padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan perikanan yang sangat bergantung pada pasar Amerika. Ekspor pakaian ke AS mencapai 60%, furnitur 59%, produk olahan ikan 56%, dan alas kaki 33%.

"Bila tarif tinggi tetap diberlakukan, risiko penurunan permintaan akan mengguncang kinerja ekspor dan kelangsungan usaha," tegas Akbar.

Akbar juga menyoroti ketidakpastian global dan penurunan PMI Manufaktur Indonesia ke 46,9 pada Juni 2024. Beban biaya produksi yang meningkat, mulai dari harga energi, bahan baku impor, hingga kenaikan upah minimum, membuat pelaku usaha cenderung wait and see dan fokus pada efisiensi.

Ikuti kami di Google News

Tinggalkan komentar

Related Post