TeraNews Bisnis – Desakan kepada pemerintah untuk segera bernegosiasi ulang terkait tarif resiprokal baru Amerika Serikat (AS) sebesar 32 persen terhadap produk ekspor Indonesia semakin menggema. Wakil Ketua Komisi VII DPR, Evita Nursanty, menyatakan perlunya komunikasi intensif dengan pemerintah AS di berbagai tingkatan untuk melakukan negosiasi langsung dan mencari solusi atas kebijakan tarif baru tersebut. "Kita harus proaktif," tegas Evita dalam keterangannya, Jumat (4/4).
Evita juga menekankan pentingnya penguatan industri dalam negeri untuk meningkatkan daya saing. Pemerintah, menurutnya, perlu memberikan insentif bagi industri yang terdampak dan mempertahankan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk mengurangi ketergantungan pada impor. "Ini kunci agar kita tak mudah terpuruk," imbuhnya.

Ketergantungan Indonesia pada pasar AS memang cukup besar, terutama untuk produk mesin dan perlengkapan elektronik, pakaian, alas kaki, kelapa sawit, karet, perabotan, dan hasil laut. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan tiga negara tujuan ekspor utama Indonesia (termasuk AS) berkontribusi 42,94 persen terhadap total ekspor nonmigas nasional pada tahun 2024. "Kita perlu diversifikasi pasar, jangan hanya mengandalkan AS," ujar Evita. Ia mendorong perluasan pasar ke negara lain seperti China, India, Uni Eropa, Timur Tengah, dan Afrika, serta percepatan perjanjian dagang baru.
Senada dengan Evita, Indonesia Business Center (IBC) juga mengusulkan renegosiasi tarif dan kajian ulang kerangka perjanjian dagang Indonesia-AS. CEO IBC, Sofyan Djalil, menyatakan langkah ini penting tak hanya untuk mempertahankan hubungan dagang, tetapi juga memperluas potensi perdagangan melalui diplomasi yang aktif. "Tarif baru ini memberikan tekanan besar pada daya saing ekspor kita, mengingat AS menyumbang USD 38,7 miliar ekspor Indonesia di 2024," tegas Sofyan.
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) turut menyuarakan hal serupa. Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Luar Negeri Kadin, Pahala Mansury, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap tarif baru yang mencapai 64 persen dan mendesak pemerintah untuk segera bernegosiasi dengan Donald Trump guna mendapatkan tarif yang lebih adil. "Kita yakin tarif yang lebih rendah bisa dicapai," kata Pahala, mengutip pernyataan dari CNBC Indonesia, Kamis (3/4). Pahala juga menekankan bahwa berdasarkan kajian Dewan Ekonomi Nasional (DEN), tarif Indonesia sebenarnya sudah cukup rendah. Desakan ini menjadi sinyal kuat betapa krusialnya negosiasi ulang tarif ini bagi perekonomian Indonesia.
Tinggalkan komentar