Ekonesia Ekonomi – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mengingatkan pemerintah dan pelaku usaha untuk mewaspadai strategi dagang agresif Amerika Serikat (AS), menyusul kesepakatan tarif impor 19% untuk produk Indonesia. Meski tampak menguntungkan ekspor, tekanan dagang AS berpotensi menggerus daya saing ekspor nasional.
Anggawira, Sekretaris Jenderal BPP HIPMI, menekankan bahwa kesepakatan ini bukan sekadar pengumuman teknis, melainkan sinyal negosiasi dagang yang tidak seimbang. "Indonesia perlu berhati-hati agar tidak menjadi korban dari strategi dagang agresif negara besar," ujarnya, Rabu.

HIPMI memprediksi penurunan volume ekspor ke AS, gangguan efisiensi biaya produksi, dan potensi pengurangan tenaga kerja sebagai dampak dari tarif tersebut. UMKM dan eksportir baru akan menghadapi hambatan besar untuk menembus pasar global. Produk tekstil, alas kaki, elektronik rumah tangga, dan furnitur menjadi sektor yang paling rentan.
Untuk menjaga daya saing, HIPMI merekomendasikan beberapa strategi. Pertama, diversifikasi pasar ekspor agar tidak bergantung pada AS. Kedua, perluasan insentif dan pembiayaan ekspor, khususnya bagi UMKM. Ketiga, negosiasi ulang kesepakatan dagang yang lebih adil, mengedepankan prinsip timbal balik dan kemandirian ekonomi.
HIPMI juga mendorong pemanfaatan momentum ini untuk memperkuat ekosistem produksi dalam negeri, sehingga Indonesia tidak hanya mengekspor bahan mentah, tetapi juga produk bernilai tambah tinggi.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif impor 19% untuk produk Indonesia, hasil negosiasi dengan Presiden RI Prabowo Subianto. Angka ini lebih rendah dari tarif awal 32% yang diumumkan pada April 2025. Informasi ini dikutip dari ekonosia.com.
Tinggalkan komentar