Ekonesia Ekonomi – Kementerian Transmigrasi (Kementrans) menegaskan bahwa pelepasan status area hutan di wilayah transmigrasi tidak akan mengorbankan kawasan konservasi yang dilindungi. Menteri Transmigrasi, M Iftitah Sulaiman Suryanagara, menyampaikan hal ini sebagai klarifikasi bahwa kebijakan ini bukan bentuk legalisasi perambahan hutan.
Iftitah menjelaskan, pelepasan status hutan hanya berlaku untuk lahan yang sejak awal diperuntukkan bagi permukiman dan lahan usaha warga transmigrasi, bukan kawasan konservasi aktif. Proses pelepasan ini akan melalui verifikasi ketat dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut).

"Ini bukan penggusuran hutan, melainkan pengakuan hak atas tanah yang telah ditempati warga negara yang taat hukum selama puluhan tahun," tegas Iftitah. Ia menambahkan, pemerintah berupaya mencari solusi yang adil bagi lingkungan dan masyarakat.
Kementrans mencatat, permasalahan tumpang tindih lahan paling banyak terjadi di Sumatra (5.601 bidang), diikuti Sulawesi (3.756 bidang), dan Kalimantan (3.643 bidang). Contohnya, di Kawasan Transmigrasi Malili, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, sebagian area transmigrasi masuk dalam kawasan hutan berdasarkan SK Menteri LHK tahun 2019, sehingga menyulitkan warga memperoleh Sertifikat Hak Milik (SHM).
"Dulu, batas kawasan belum jelas. Sekarang, masyarakat yang patuh justru kesulitan. Negara harus hadir," ujar Iftitah.
Untuk mengatasi masalah ini, Kementrans bekerja sama dengan Kemenhut, Kementerian ATR/BPN, dan BIG mengembangkan platform Integrated Land Administration and Spatial Planning Project (ILASPP) untuk mencegah konflik pemetaan lahan.
"Kami tidak ingin mengulangi kesalahan. Program transmigrasi ke depan harus berbasis data, terintegrasi, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat tanpa merusak lingkungan," pungkasnya. Informasi ini dilansir dari Ekonesia.com.
Tinggalkan komentar