Sritex Terancam ‘Didepak’ dari Bursa? Ini Sebabnya!

Agus Riyadi

9 Juni 2025

2
Min Read
Sritex Terancam 'Didepak' dari Bursa? Ini Sebabnya!

Ekonesia Market – Nasib PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL), atau yang lebih dikenal dengan Sritex, kini berada di ujung tanduk. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengisyaratkan bahwa emiten tekstil ini berpotensi besar untuk dikeluarkan (delisting) dari Bursa Efek Indonesia (BEI).

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi, menjelaskan bahwa saham SRIL telah memenuhi kriteria delisting. Penyebabnya, saham SRIL telah disuspensi oleh BEI sejak 18 Mei 2021, dan hingga kini belum ada aktivitas perdagangan.

Sritex Terancam 'Didepak' dari Bursa? Ini Sebabnya!
Gambar Istimewa : awsimages.detik.net.id

"Tidak ada transaksi karena ada penundaan pembayaran pokok MTN tahun 3 tahun 2018. Sesuai ketentuan bursa, ini sudah masuk kriteria delisting karena suspensi lebih dari 24 bulan," ungkap Inarno dalam konferensi pers virtual.

Meskipun OJK memberikan pengecualian terkait keterlambatan laporan keuangan, Sritex tetap diwajibkan untuk menyampaikan informasi dan laporan lainnya secara transparan.

Kinerja keuangan Sritex memang mengalami penurunan signifikan. Pada tahun 2021, perusahaan mencatatkan kerugian terbesar sejak melantai di bursa. Meskipun kerugian berhasil ditekan hingga Rp637 miliar pada September 2024, pendapatan perusahaan terus merosot sejak 2021.

Penurunan pendapatan dan laba ini dipicu oleh pandemi COVID-19 yang mengganggu rantai pasok global dan menurunkan permintaan konsumen. Sritex terpaksa mengajukan restrukturisasi utang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pada Mei 2021, dengan total utang mencapai sekitar Rp12,9 triliun.

Sebelum krisis, Sritex melakukan ekspansi besar-besaran yang dibiayai melalui utang berbunga tinggi. Hal ini memperburuk kondisi keuangan perusahaan saat pandemi melanda.

Berdasarkan data ekonosia.com, per Kamis (22/5/2025), masyarakat memegang 39,89% saham SRIL, setara dengan 8.158.734.000 saham atau sekitar Rp1,19 triliun (dengan asumsi harga saham Rp146). Nasib investasi para pemegang saham publik ini pun kini menjadi pertanyaan besar.

Ikuti kami di Google News

Tinggalkan komentar

Related Post