Ekonesia Ekonomi – PT Tjitajam menyampaikan hak jawab terkait pemberitaan rencana pembangunan stadion di Depok, Jawa Barat. Perusahaan tersebut mempertanyakan dasar hukum pembangunan stadion di atas lahan seluas 53,8 hektare di Tanah Merah, Cipayung, yang diklaim sebagai aset mereka.
PT Tjitajam menegaskan kepemilikan lahan tersebut sah berdasarkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) Nomor 257/Cipayung Jaya yang terbit sejak 1999. Lahan tersebut juga telah disita jaminan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur sejak 1999 dan perkaranya telah berkekuatan hukum tetap.

Perusahaan menuding adanya upaya pembajakan saham di Dirjen AHU oleh oknum mafia tanah. Gugatan yang diajukan PT Tjitajam di Pengadilan Negeri Cibinong dikabulkan, membatalkan akta-akta dan pengesahan AHU PT Tjitajam versi Cipto Sulistio dkk. Hakim juga kembali meletakkan sita jaminan terhadap aset PT Tjitajam, termasuk SHGB Nomor 257/Cipayung Jaya.
PT Tjitajam mengklaim telah memenangkan 10 putusan inkrah, termasuk di tingkat Peninjauan Kembali (PK) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Putusan pidana terkait perebutan lahan, saham, dan aset tanah PT Tjitajam juga membebaskan klien mereka hingga tingkat Mahkamah Agung (MA).
Perusahaan berpendapat bahwa semua pihak terkait, termasuk Pemkot Depok dan BPN Kota Depok, harus tunduk pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. PT Tjitajam menolak klaim Satgas BLBI yang menyatakan lahan tersebut telah diperoleh negara berdasarkan Perjanjian Penyelesaian Pinjaman antara PT Tjitajam dan PT Mitra Bina Unggul.
PT Tjitajam menegaskan tidak pernah berutang dan tidak pernah menerima aliran uang dari PT Mitra Unggul Bina Nusa maupun Bank Central Dagang (BCD). Perusahaan menduga ada upaya menjadikan aset mereka sebagai pelunasan utang pihak lain, yang dianggap sebagai praktik mafia tanah.
PT Tjitajam menyoroti utang Hindarto Tantular/Anton Tantular, pemegang saham PT Bank Central Dagang-BBKU, kepada negara sebesar Rp1,47 triliun. Perusahaan menilai penguasaan aset oleh Satgas BLBI terhadap Tanah Merah Cipayung milik PT Tjitajam tidak adil dan tidak berdasarkan hukum. PT Tjitajam menduga kasus ini adalah bukti maraknya praktik mafia tanah di Indonesia.










Tinggalkan komentar