Ekonesia Ekonomi – Mantan Menteri ESDM, Ignasius Jonan, memprediksi bahwa kendaraan Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) akan menjadi solusi paling realistis untuk Indonesia dalam 25 tahun mendatang. Hal ini terutama disebabkan oleh tantangan infrastruktur pengisian daya yang belum memadai untuk kendaraan listrik berbasis baterai (BEV).
Jonan menyampaikan pandangannya pada Konferensi Gaikindo International Automotive Conference (GIAC) di GIIAS 2025, ICE BSD City, Tangerang, Selasa. Ia berpendapat bahwa adopsi BEV secara penuh masih menghadapi kendala besar di Indonesia.

"Bayangkan saja, pada tahun 2016, 71 tahun setelah Indonesia merdeka, masih ada 1.500 kecamatan yang belum memiliki SPBU. Sekarang, kita ingin mendorong pemasangan SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) sebanyak SPBU. Ini tantangan yang tidak mudah," ujar Komisaris Independen PT United Tractors Tbk (UNTR) tersebut.
Lebih lanjut, Jonan menyoroti keterbatasan jarak tempuh BEV dibandingkan dengan kendaraan konvensional. Menurutnya, PHEV yang menggabungkan tenaga listrik dan bensin, akan lebih sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini. Fleksibilitas PHEV dinilai lebih kompatibel dengan infrastruktur yang ada, sambil tetap berkontribusi pada pengurangan emisi.
Ia mencontohkan negara-negara maju seperti Tiongkok dan Inggris, yang meskipun menjadi pasar besar BEV, masih berjuang secara bertahap dalam menyediakan infrastruktur yang memadai. "Di Inggris, banyak pengguna BEV merek mewah pun khawatir saat bepergian jauh dari London karena takut tidak menemukan stasiun pengisian daya atau harus menunggu lama," imbuhnya.
PHEV tidak memerlukan infrastruktur pengisian daya yang seluas dan seintensif BEV karena masih mengandalkan mesin pembakaran internal sebagai sumber tenaga tambahan. Hal ini memberikan fleksibilitas operasional tanpa harus bergantung sepenuhnya pada SPKLU, sehingga mengatasi kendala infrastruktur yang ada.
Tinggalkan komentar