TeraNews Bisnis – China melontarkan tuduhan keras kepada Amerika Serikat (AS), menyebut AS telah melanggar perjanjian tarif tahun 2020 dengan memaksa penjualan TikTok. Perang dagang yang dipicu pemerintahan Trump bukanlah hal baru. Pada periode 2017-2021, AS dan China terlibat ketegangan, salah satunya karena defisit neraca perdagangan AS mencapai US$418 miliar pada 2018. Kala itu, barang-barang impor China dikenakan tarif 10 persen. Puncaknya, kesepakatan perdagangan ‘Fase 1’ ditandatangani pada 2020, di mana China berkomitmen membeli produk AS senilai US$200 miliar.
Beijing mengklaim telah memenuhi kewajibannya dalam perjanjian tersebut, termasuk perlindungan kekayaan intelektual, peningkatan impor, dan perluasan akses pasar bagi AS. Mereka bahkan menciptakan ekosistem bisnis yang menguntungkan investor asing, termasuk perusahaan-perusahaan AS. Semua upaya ini, menurut China, bertujuan untuk berbagi manfaat pembangunan ekonomi negaranya.

Namun, dalam white paper berjudul ‘China’s Position on Some Issues Concerning China-US Economic and Trade Relations’ yang dirilis Rabu (9/4), China balik menyerang. Mereka menuduh AS melanggar kesepakatan dengan menggunakan Undang-Undang Perlindungan Warga Amerika dari Aplikasi yang Dikendalikan Musuh Asing sebagai dalih untuk memaksa penjualan TikTok, aplikasi media sosial besutan ByteDance.
"AS gagal melaksanakan komitmen perjanjian tentang transfer teknologi. Perjanjian tersebut menetapkan, ‘Pihak mana pun tidak boleh meminta atau menekan orang-orang dari pihak lain untuk mentransfer teknologi terkait dengan akuisisi, usaha patungan, atau transaksi investasi lainnya’," tulis China dalam white paper tersebut.
China menilai upaya AS untuk mengambil alih TikTok melanggar hukum pasar dan isi perjanjian. "Dengan dalih melindungi keamanan nasional AS, AS telah mencoba memaksa TikTok untuk menjual atau mendivestasikan bisnisnya. Itu mengganggu operasi normal (TikTok) dan mengancam keamanan teknologi serta kepentingan komersial para investor," tegas China.
Selain isu TikTok, China juga menuding AS melanggar kesepakatan ‘Fase 1’ melalui berbagai tekanan, termasuk kontrol ekspor, pembatasan investasi, dan narasi negatif tentang HAM di Hong Kong, Taiwan, dan Xinjiang, serta isu terkait pandemi Covid-19. China bahkan menyatakan memiliki hak untuk menarik diri dari perjanjian tersebut, namun memilih untuk tidak melakukannya demi menjaga hubungan bilateral.
Lebih lanjut, China membantah tuduhan Trump terkait ekspor fentanil. Mereka menyajikan data ekspor obat-obatan terkait fentanil tahun 2023, yang menunjukkan bahwa ekspor tidak pernah ditujukan ke Amerika Utara. China menegaskan komitmennya dalam pemberantasan narkoba dan menyebut tuduhan AS tidak berdasar.
Kini, AS dan China kembali terlibat perang tarif. AS menaikkan tarif impor produk China hingga 125 persen, sementara China membalas dengan tarif 84 persen. Perkembangan ini semakin memperkeruh hubungan kedua negara adidaya tersebut.
Tinggalkan komentar