Ekonesia Ekonomi – Laporan terbaru The State of Global Islamic Economy (SGIE) Report 2024/2025 mengungkap fakta mencengangkan: konsumen Muslim global menghabiskan dana sebesar 2,43 triliun dolar AS di berbagai sektor ekonomi Islam pada tahun 2023. Angka ini melonjak 5,5% dibandingkan tahun sebelumnya, menandakan pertumbuhan pesat pasar halal.
Reem El Shafaki, Partner DinarStandard, mengungkapkan bahwa angka fantastis ini mencakup sektor riil seperti makanan halal (1,43 triliun dolar AS), modest fashion (327 miliar dolar AS), kosmetik halal (87 miliar dolar AS), media dan rekreasi (260 miliar dolar AS), wisata ramah Muslim (217 miliar dolar AS), dan farmasi halal (107,1 miliar dolar AS). Aset keuangan Islam pun turut mendukung dengan nilai 4,93 triliun dolar AS.

Negara-negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengimpor produk halal senilai 407,75 miliar dolar AS pada tahun 2023. China memimpin daftar eksportir dengan nilai 32,51 miliar dolar AS, diikuti India (28,88 miliar dolar AS) dan Brasil (26,93 miliar dolar AS). Indonesia sendiri berada di peringkat ke-9 dengan nilai ekspor 12,33 miliar dolar AS.
Dengan proyeksi populasi Muslim mencapai 2,2 miliar pada tahun 2030, pasar halal diperkirakan akan terus berkembang. Belanja di sektor ini diprediksi mencapai 3,36 triliun dolar AS pada tahun 2028, dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 8,3%. Peningkatan ini didorong oleh naiknya permintaan konsumen, regulasi yang semakin baik, dan perluasan rantai pasokan halal global.
Perdagangan intra-OKI juga mengalami peningkatan signifikan, didukung oleh investasi dan kebijakan strategis untuk mengembangkan manufaktur regional dan ketahanan pertanian. Negara-negara seperti Arab Saudi, UEA, Indonesia, dan Turki menjadi motor penggerak perdagangan dan investasi halal intra-regional.
Laporan SGIE juga menyoroti pergeseran kekuatan ekonomi global, dengan kebangkitan BRICS dan de-globalisasi yang mendorong negara-negara OKI untuk lebih mandiri secara ekonomi. Indonesia, dengan ambisinya menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada tahun 2045, menjadi contoh bagaimana negara-negara berkembang berupaya mendorong aktivitas ekonomi regional yang independen.
Konsumen global semakin menghargai keaslian dan tanggung jawab etis, sehingga merek-merek lokal dan regional yang autentik semakin populer. Contohnya, The Fix Chocolatier dari Dubai berhasil meraih perhatian global karena keselarasan dengan identitas budaya dan etika.
Sentimen negatif terhadap merek-merek global yang dianggap tidak selaras dengan nilai-nilai etika dan regional juga meningkat, terutama terkait konflik di Gaza. Hal ini memicu boikot dan pergeseran ke alternatif lokal dan regional, seperti ZUS Coffe dari Malaysia dan Wardah dari Indonesia.
"Ada sentimen negatif yang sangat besar terhadap merek lokal yang dianggap mendukung pendudukan dan genosida. Ada sentimen positif terhadap merek lokal yang sejalan dengan etika kami," kata Reem. Data Ekonesia Ekonomi – mencatat, fenomena ini menunjukkan bahwa aktivisme konsumen etis semakin mempengaruhi perilaku pembelian di pasar halal global.
Tinggalkan komentar