Ekonesia Ekonomi – Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Niti Emiliana, mengecam keras praktik pengoplosan beras kualitas rendah menjadi beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Bulog serta beras premium di Riau. Menurutnya, praktik ini sangat merugikan negara, petani, dan konsumen.
YLKI mendesak pemerintah untuk melakukan investigasi menyeluruh terhadap seluruh rantai pasok beras dan menindak tegas para pelaku tanpa pandang bulu. "YLKI mendukung untuk pemerintah melakukan investigasi secara komprehensif dari seluruh rantai pasok beras, melakukan penindakan tegas tanpa pandang bulu dan pemberantasan mafia beras yang merugikan negara, petani dan konsumen," kata Niti saat dihubungi ekonosia.com di Jakarta, Minggu.

Niti juga menuntut transparansi hasil investigasi dan penindakan kepada masyarakat. YLKI akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas karena dianggap sebagai bentuk penipuan dan penyalahgunaan anggaran negara.
Pengoplosan beras, menurut Niti, merupakan pelanggaran berat terhadap hak konsumen, terutama karena beras adalah komoditas pangan esensial. Ia menegaskan bahwa konsumen berhak mendapatkan beras yang sesuai dengan standar kualitas yang dijanjikan.
Pelanggaran terhadap standar kualitas beras dapat berujung pada ancaman pidana sesuai dengan Pasal 8 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman hukuman penjara hingga lima tahun dan denda Rp2 miliar.
Praktik pengoplosan ini juga berpotensi menurunkan kepercayaan konsumen terhadap kualitas beras di pasaran. Konsumen berhak menuntut ganti rugi materiel dan immateriel atas kerugian yang dialami.
YLKI menyarankan penguatan sistem pengawasan di seluruh rantai pasok beras, mulai dari hulu hingga hilir. Pengawasan pre-market, termasuk pemeriksaan administrasi, fisik sarana prasarana, dan laboratorium untuk quality control, juga sangat penting.
Pengawasan post-market, yaitu pengawasan kualitas beras setelah masuk ritel, juga harus dilakukan secara berkala.
Niti menekankan pentingnya peran konsumen dalam memberantas praktik pengoplosan beras. Konsumen dapat menjadi pengawas, mata, dan telinga untuk melaporkan kecurangan kepada pihak berwenang.
"Dalam UU Perlindungan Konsumen lembaga konsumen juga diberikan amanat dan peran untuk melakukan pengawasan bersama dengan pemerintah dan masyarakat terhadap pelindung konsumen," kata Niti.
Sebelumnya, Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan mengungkapkan bahwa penggerebekan kasus pengoplosan beras dilakukan sebagai tindak lanjut arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Polisi mengungkap dua modus operandi yang dilakukan tersangka, yaitu mencampur beras medium dengan beras berkualitas buruk dan mengemasnya sebagai beras SPHP, serta membeli beras murah dan mengemasnya dalam karung bermerek premium.
Barang bukti yang disita meliputi 79 karung beras SPHP oplosan, 4 karung beras premium berisi beras rendah, 18 karung kosong SPHP, timbangan digital, mesin jahit, dan benang jahit.
Tersangka dijerat dengan Pasal 62 ayat (1) jo Pasal 8 ayat (1) huruf e dan f, serta Pasal 9 ayat (1) huruf d dan h Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman pidana lima tahun penjara dan denda maksimal Rp2 miliar.
Tinggalkan komentar