Ekonesia Ekonomi – Sorotan tajam kini tertuju pada Raja Ampat, surga bawah laut yang keindahannya mendunia. Di balik pesonanya, tersembunyi potensi nikel yang menggiurkan para penambang. Tagar #SaveRajaAmpat menggema, bukan untuk mempromosikan wisata, melainkan untuk melindungi Raja Ampat dari ancaman kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan.
Ironisnya, klaim "tambang ramah lingkungan" seolah menjadi pembenaran atas kerusakan yang tak terhindarkan. Pertambangan, pada dasarnya, adalah aktivitas yang merusak. Ia menggusur vegetasi, mengubah bentang alam, dan berpotensi mencemari lingkungan sekitar. Kesadaran akan hal inilah yang memicu penolakan keras terhadap aktivitas tambang di Raja Ampat.

PT GAG Nikel menjadi sorotan utama di antara perusahaan tambang lainnya. Perusahaan ini beroperasi di Pulau Gag, Raja Ampat, sejak tahun 2017. Kehadirannya memicu kekhawatiran akan dampak negatif terhadap ekosistem Raja Ampat yang unik dan rentan. Selain PT GAG Nikel, terdapat pula perusahaan lain seperti PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham yang turut beroperasi di wilayah tersebut.
Masyarakat dan aktivis lingkungan mendesak pemerintah dan perusahaan tambang untuk lebih bertanggung jawab dalam menjaga kelestarian Raja Ampat. Praktik pertambangan yang berkelanjutan, dengan memperhatikan dampak lingkungan dan melakukan rehabilitasi pasca-tambang, menjadi kunci untuk melindungi surga Raja Ampat dari kerusakan yang lebih parah. Nasib Raja Ampat kini berada di persimpangan jalan, antara kilau nikel dan kelestarian alam.
Tinggalkan komentar