Rupiah Hancur Lebur Dolar Terbang Tinggi Sampai 17 Ribu

Agus Riyadi

30 Desember 2025

4
Min Read

Ekonesia – Tahun 2025 menjadi saksi bisu gejolak dahsyat di pasar keuangan Indonesia. Nilai tukar rupiah bak dihantam badai, terombang-ambing di tengah pusaran ketidakpastian ekonomi global yang kian memanas. Puncaknya, mata uang kebanggaan Tanah Air ini sempat terpuruk dalam-dalam, membuat dolar Amerika Serikat (AS) melambung tak terkendali hingga menembus level psikologis Rp17.000.

Momen krusial itu terjadi saat sebagian besar masyarakat Indonesia tengah menikmati libur panjang Lebaran. Di balik hiruk pikuk perayaan, rupiah diam-diam babak belur di hadapan greenback. Data dari pasar non-deliverable forward (NDF) Refinitiv pada Minggu 6 April 2025 menunjukkan rupiah anjlok ke Rp17.059 per dolar AS. Kondisi kian memburuk keesokan harinya, Senin 7 April 2025, di mana mata uang Garuda mencetak rekor terendah sepanjang sejarah dengan menyentuh Rp17.261 per dolar AS di pasar NDF.

Rupiah Hancur Lebur Dolar Terbang Tinggi Sampai 17 Ribu
Gambar Istimewa : awsimages.detik.net.id

Angka di pasar NDF ini jauh lebih lemah dibandingkan penutupan perdagangan reguler terakhir sebelum Lebaran, yakni Rp16.555 per dolar AS pada Kamis 27 Maret 2025. Ini mengindikasikan potensi pelemahan signifikan saat pasar spot kembali dibuka. Benar saja, usai libur panjang, pada Selasa 8 April 2025, rupiah langsung ambruk 1,78 persen, dibuka di Rp16.850 per dolar AS dan ditutup di Rp16.860 per dolar AS. Depresiasi berlanjut keesokan harinya, Rabu 9 April 2025, dibuka Rp16.900 per dolar AS dan sempat menyentuh Rp16.970 per dolar AS intraday, sebelum akhirnya ditutup di Rp16.795 per dolar AS, level tertinggi hingga akhir tahun.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo kemudian mengungkapkan bahwa proyeksi kurs rupiah dalam Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) 2025 yang sebesar Rp15.285 per dolar AS meleset jauh dari realita. Perry menjelaskan, pada saat itu, tidak ada yang menduga akan ada kebijakan tarif perdagangan yang sangat tinggi pada 2 April, yang membuat rupiah di pasar offshore sempat menyentuh Rp17.000. Setelah rentetan tekanan itu, rupiah sempat menunjukkan tanda-tanda pemulihan, memasuki fase bullish singkat selama sebulan, dengan dolar AS turun ke Rp16.170 per dolar AS pada pembukaan perdagangan 26 Mei 2025.

Lantas, apa yang sebenarnya memicu ambruknya rupiah hingga ke titik terendah dalam sejarah? Setidaknya ada tiga faktor utama yang menjadi biang keladi. Pertama, kebijakan tarif perdagangan Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terdampak, dengan potensi kerugian sebesar 32 persen. Rencana AS memberlakukan tarif dasar 10 persen pada semua impor, ditambah bea masuk lebih tinggi untuk puluhan negara, termasuk Indonesia yang dianggap mengenakan tarif 64 persen, menciptakan ketidakpastian besar di pasar global. Investor asing pun cemas, berpotensi menarik dananya dari pasar keuangan Indonesia.

Kedua, suplai dolar AS di Tanah Air berpotensi menyusut drastis. Perhitungan Bahana Sekuritas menunjukkan, penetapan tarif antara AS dan mitra dagangnya dapat memangkas surplus perdagangan bulanan Indonesia dari sekitar tiga miliar dolar AS menjadi hanya 700-900 juta dolar AS. Imbasnya, defisit transaksi berjalan pada 2025 diproyeksikan melebar hingga 0,9 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), mendekati batas atas target BI. Penyempitan surplus ini secara langsung mengurangi pasokan dolar AS di dalam negeri, menekan mata uang Garuda.

Ketiga, ancaman resesi global akibat kebijakan tarif Trump. Lembaga keuangan raksasa seperti JPMorgan memperingatkan bahwa risiko resesi global akan meningkat dari 40 persen menjadi 60 persen sebelum akhir tahun. S&P Global juga menaikkan kemungkinan resesi di AS menjadi 30-35 persen. Berbagai lembaga riset lain, termasuk Barclays dan UBS, turut memperingatkan potensi kontraksi ekonomi AS, atau setidaknya pertumbuhan yang sangat lambat, jika tarif baru tersebut terus berlaku. Kekhawatiran ini tentu saja turut memperparah sentimen negatif terhadap pasar keuangan negara berkembang seperti Indonesia.

Menghadapi tekanan ini, Bank Indonesia tidak tinggal diam. Perry Warjiyo menegaskan bahwa BI harus menguras cadangan devisa untuk melakukan intervensi stabilisasi rupiah. Cadangan devisa Indonesia yang semula 157 miliar dolar AS pada Maret 2025, merosot hingga 149 miliar dolar AS pada akhir September 2025. Meskipun sempat sedikit naik pada Oktober dan November, upaya stabilisasi ini menunjukkan besarnya tekanan yang dihadapi. BI melakukan intervensi di pasar NDF offshore dan domestik, pasar spot, serta pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Setelah sempat stabil di pertengahan tahun, rupiah kembali menghadapi cobaan di akhir tahun. Sejak akhir kuartal kedua, pelemahan berlanjut. Pada 22 Desember 2025, dolar AS bahkan melampaui level April, ditutup di Rp16.765 per dolar AS. Tren penguatan dolar AS di pasar global, tercermin dari Indeks Dolar AS (DXY) yang bertahan di kisaran 97,95, turut membebani rupiah. Fokus pasar global tertuju pada rilis data awal Produk Domestik Bruto (PDB) Amerika Serikat kuartal III, yang krusial untuk mengukur ketahanan ekonomi AS dan arah kebijakan suku bunga Federal Reserve ke depan.

Di tengah gejolak tersebut, Bank Indonesia tetap menegaskan kondisi rupiah stabil menjelang penutupan tahun. Perry Warjiyo menyatakan bahwa per 16 Desember 2025, rupiah berada di level Rp16.685 per dolar AS, relatif stabil dibandingkan akhir November. Ia menambahkan, BI terus menjaga stabilitas nilai tukar melalui berbagai skema, termasuk intervensi dan tambahan pasokan valuta asing dari korporasi berkat kebijakan penguatan devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA).

Ikuti kami di Google News

Tinggalkan komentar

Related Post