Ekonesia – Gelombang kekecewaan melanda para penggemar sepak bola, khususnya dari Inggris, menyusul lonjakan harga tiket Piala Dunia 2026 yang dianggap tidak masuk akal. Federasi Sepak Bola Internasional FIFA dituding semakin menjauh dari basis pendukung setianya akibat banderol fantastis yang membuat perhelatan akbar ini terasa makin eksklusif. Banyak suporter merasa terpinggirkan setelah mengetahui biaya minimum untuk menyaksikan laga final bisa mencapai puluhan juta rupiah, jauh melampaui perkiraan awal.
Kenaikan harga ini memicu protes keras dari kalangan fans yang selama ini telah bergulat dengan berbagai beban finansial, mulai dari langganan televisi hingga tiket pertandingan domestik. Mereka kini menyuarakan kekhawatiran tidak lagi mampu menjangkau turnamen paling bergengsi di dunia itu. Rincian harga yang disebarkan oleh Federasi Sepak Bola Inggris (FA) justru menambah kekagetan, sebab tiket yang ditawarkan melalui jalur federasi ternyata lebih mahal dari harga resmi yang sebelumnya dirilis FIFA.

Para pendukung sempat berharap tiket dari federasi akan lebih terjangkau, terutama setelah jadwal pertandingan ditetapkan. Namun, realitasnya justru berbanding terbalik. Untuk kategori tiga, tiket yang sebelumnya dibanderol FIFA sekitar 2.000 Poundsterling kini melonjak drastis menjadi sekitar 3.120 Poundsterling, atau setara dengan Rp 70 juta, jika dibeli melalui FA. Angka ini dinilai tidak proporsional dan memberatkan. Bagi mereka yang menginginkan kategori satu, dana yang harus disiapkan bahkan mencapai sekitar Rp 145 juta, menjadikan laga puncak semakin sulit dijangkau oleh penggemar loyal yang selalu mendukung tim di kandang maupun tandang.
Kontras harga semakin tajam jika dibandingkan dengan proyeksi awal. Dalam dokumen penawaran tuan rumah FIFA tahun 2018, tiket kategori tiga untuk final diproyeksikan hanya sekitar Rp 11,6 juta. Realitas enam kali lipat dari prediksi awal ini membuat banyak pendukung merasa dikhianati. Di sisi lain, Euro 2024 menawarkan tiket final sekitar Rp 1,85 juta untuk kategori suporter, harga yang dinilai lebih realistis bagi mereka yang mengikuti perjalanan timnas sejak babak kualifikasi.
Model pembayaran FIFA juga menjadi sorotan. Berbeda dengan UEFA yang menyediakan sistem pembayaran bertahap berdasarkan progres tim, FIFA mengharuskan pembayaran penuh di awal. Jika tim favorit tersingkir, dana dikembalikan pada waktu yang tidak jelas dan masih dipotong biaya tertentu. Beban finansial lain seperti biaya penerbangan, perjalanan lintas negara, akomodasi, dan kebutuhan harian semakin memperparah situasi, membuat Piala Dunia 2026 kian tak terjangkau bagi sebagian besar suporter Inggris.
Meskipun stadion diperkirakan akan tetap terisi penuh, banyak pengamat khawatir sebagian besar kursi akan didominasi oleh penonton musiman yang tidak memiliki ikatan emosional mendalam dengan timnas. Kekhawatiran muncul bahwa atmosfer pertandingan tidak lagi mencerminkan semangat otentik suporter sejati. Federasi di berbagai negara pun didesak untuk menyatakan sikap. Meski kecil kemungkinan jatah tiket akan ditolak, kritik terbuka dari federasi dinilai sangat diperlukan untuk menunjukkan solidaritas terhadap basis pendukung mereka. Momen ketika FIFA menampilkan penghargaan kepada Donald Trump pada acara pengundian juga dianggap menambah gambaran bahwa organisasi tersebut semakin terlepas dari realitas kehidupan para penggemar yang menonton pertandingan dari pekan ke pekan.
Lonjakan harga tiket ini menunjukkan jurang yang kian lebar antara FIFA dan para suporter yang menjadi fondasi kehidupan sepak bola. Jika pendekatan komersial terus mendominasi, risiko tergerusnya keterlibatan suporter sejati dalam jangka panjang bisa menjadi kenyataan yang sulit dihindari.











Tinggalkan komentar