Judul Clickbait: Baterai EV: RI Cuma Jadi Tukang Rakit?

Rachmad

6 Agustus 2025

2
Min Read
Judul Clickbait: Baterai EV: RI Cuma Jadi Tukang Rakit?

Ekonesia Ekonomi – Pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menekankan bahwa pengembangan industri baterai kendaraan listrik (EV) di Indonesia harus diimbangi dengan kebijakan yang inovatif dan adaptif, tidak hanya berfokus pada produksi massal.

Yannes menyoroti dinamika perubahan teknologi baterai global yang pesat, terutama peralihan tren dari baterai nikel (NMC) ke baterai lithium iron phosphate (LFP). Menurutnya, pemerintah Indonesia perlu memiliki strategi yang fleksibel untuk menghadapi perubahan ini.

Judul Clickbait: Baterai EV: RI Cuma Jadi Tukang Rakit?
Gambar Istimewa : img.antaranews.com

"Baterai LFP kini semakin mendominasi pasar global karena harganya lebih terjangkau, lebih aman, dan lebih ramah lingkungan. Jika Indonesia hanya mengandalkan NMC, risiko yang dihadapi akan sangat besar," ujar Yannes saat dihubungi ekonosia.com di Jakarta, Rabu.

Yannes mencontohkan mundurnya LG dari Proyek Titan sebagai bukti bahwa ketergantungan pada satu mitra dan satu jenis teknologi dapat menjadi bumerang. Ia menyarankan agar Indonesia mengadopsi strategi multi-track, dengan memproduksi NMC untuk pasar ekspor premium dan LFP (atau bahkan baterai natrium) untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik.

Selain diversifikasi teknologi, Yannes juga menekankan pentingnya investasi besar-besaran dalam riset dan pengembangan (R&D) di dalam negeri.

"Tanpa penguasaan teknologi inti, kita hanya akan menjadi tukang rakit. Kita harus melibatkan perguruan tinggi teknologi seperti ITB dan memprioritaskan transfer pengetahuan," tegasnya.

Yannes juga mengingatkan bahwa industrialisasi di Karawang, Jawa Barat, berpotensi gagal jika pasar kendaraan listrik lokal tidak dikembangkan secara paralel. Ia menilai adopsi EV di Indonesia masih terkendala oleh minimnya infrastruktur pengisian daya, suku bunga kredit yang tinggi, dan regulasi yang belum sepenuhnya mendukung startup.

"Kita membutuhkan revolusi deregulasi dan kebijakan yang gesit, termasuk dukungan untuk UMKM. Jangan sampai Indonesia hanya menjadi pabrik komponen baterai global tanpa memiliki pasar dan teknologi sendiri," imbuhnya.

Yannes menambahkan bahwa keberhasilan program Danantara tidak hanya akan meningkatkan Produk Nasional Bruto (PNB) Indonesia, tetapi juga menandai transformasi dari negara pengekspor komoditas menjadi negara produsen teknologi dengan nilai tambah tinggi.

Namun, peluang ini harus dimanfaatkan dengan segera dan sebaik mungkin agar Indonesia dapat menjadi salah satu pemain utama dalam industri kendaraan listrik global.

"Tidak ada negara maju yang ingin Indonesia menjadi pesaing di masa depan. Kesempatan ini harus kita rebut sekarang, atau tidak sama sekali," pungkasnya.

Ikuti kami di Google News

Tinggalkan komentar

Related Post